Posted by : Unknown
Selasa, 18 November 2014
Rotan jernang (Daemonorops spp.) merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Jika pada umumnya yang dimanfaatkan dari rotan adalah batangnya, namun pada rotan jernang yang dimanfaatkan adalah resin merah/getah yang terdapat pada permukaan kulit buahnya. Resin merah ini diolah untuk dijadikan bermacam-macam obat (secara eksternal untuk antiseptik dan secara internal untuk meningkatkan sirkulasi darah, mengurangi rasa sakit, meningkatkan regenerasi jaringan, keseleo, bisul dan mengontrol pendarahan) dan sebagai perwarna (perwarna rambut, biola, tinta dan lain-lain). Mengingat banyaknya manfaat dari resin merah ini, maka nilai jualnya juga cukup tinggi. Dari hasil survey tahun 2009 – 2011, nilai jual resin merah ini mencapai 700 ribu – 800 ribu/kg nya.
Dari 115 jenis yang termasuk ke dalam genus Daemonorops, tidak semua jenis yang menghasilkan resin merah. Hanya 12 jenis dari genus Daemonorops yang menghasilkan resin merah, sehingga secara internasional jenis-jenis ini dikenal dengan nama “Dragon’s Blood Palm” atau Palem Darah Naga, dan secara tradisional dikenal dengan rotan jernang. Distribusi/penyebaran dari rotan jernang, hanya terbatas di bagian barat Asia Tenggara, dimana hanya ditemukan di Negara Malaysia, Thailand dan Indonesia bagian barat, yaitu di pulau Sumatra dan Kalimantan. Karena distribusinya yang terbatas hanya di wilayah tersebut maka rotan jernang endemik untuk wilayah barat Asia Tenggara.
Berdasarkan hasil penelitian penulis di Central of Sumatera (Sumatra Bagian Tengah), penulis menemukan 5 jenis rotan jernang. Salah satu jenis rotan jernang yang menghasilkan resin terbanyak dibandingkan jenis lainnya adalah Daemonorops draco (Willd.) Blume. Namun jenis ini sudah masuk daftar merah (Red List) IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) tahun 2006 sebagai tumbuhan yang terancam punah dan menurut
Balai Informasi Kehutanan Provinsi Jambi (2009), jernang ini sudah dikategorikan langka.
Keberadaan rotan jernang di hutan alam saat ini sudah menurun drastis. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya habitat rotan jernang karena perubahan fungsi hutan menjadi lahan-lahan perkebunan dalam skala besar, legal/illegal logging, kebakaran hutan dan kurangnya budidaya terhadap jenis-jenis ini. Disamping itu kebiasaan masyarakat pencari jernang yang selalu memanen getah jernang dari buah yang setengah tua dengan alasan getahnya lebih banyak, hal ini menyebabkan ketersediaan buah tua yang akan dijadikan bibit sangat terbatas.
Oleh karena itu perlu segera dilakukan konservasi dan budidaya rotan jernang, tidak hanya untuk jenis D. draco, tetapi juga untuk semua jenis rotan jernang, karena nilai manfaat rotan jernang yang cukup tinggi.
Integrasi rotan jernang di kebun-kebun karet masyarakat, merupakan tindakan yang tepat dalam upaya melakukan konservasi dan budidaya rotan jernang. Pemanfaatan lahan disela-sela pohon karet untuk integrasi rotan jernang, dapat lebih meningkatkan perekonomian masyarakat petani karet, karena selain memanen getah karet, petani karet juga dapat memanen getah rotan jernang ketika tumbuhan ini mulai berbuah. Kegiatan integrasi rotan jernang di kebun karet tidak akan merusak pertumbuhan pohon karet tersebut, karena rotan jernang memiliki batang yang lebih kecil, yang berbeda dengan rotan manau (Calamus manan Miq.) yang dapat merobohkan batang karet.
Pemanenan getah karet yang sangat bergantung pada musim, merupakan salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani karet. Jika musim hujan telah datang, getah karet tidak dapat dipanen dan petani karetpun akan menganggur, sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, kadang-kadang harus berhutang ke toke karet. Kehidupan “gali lobang tutup lobang” inilah yang selalu dijalani oleh petani karet kita, keadaan yang cukup memprihatinkan. Oleh sebab itu, sudah saatnyalah petani-petani karet ini diperhatikan.
Dari hasil survey penulis, bahwa sudah ada beberapa petani karet yang memulai dan sudah melakukan integrasi rotan jernang dikebun karet yang mereka miliki. Pada umumnya mereka yang telah melakukan integrasi rotan jernang adalah para pencari getah jernang, yang melakukan pencarian ketika musim berbuah rotan jernang telah tiba. Di Provinsi Jambi, penulis menemukan beberapa kawasan kebun karet yang telah dilakukan integrasi rotan jernang diantaranya adalah di Karang Mendapo, Mandiangin, Sepintun dan Lamban Sigatal di Kabupaten Sarolangun. Khusus untuk Desa Lamban Sigatal telah dibentuk kelompok tani yang diinisiasi oleh LSM Gita Buana dan didukung oleh Pemda Sarolangun yang pada masa itu dipimpin oleh Bapak Hasan Basri Agus. Jernang di daerah tersebut saat ini sudah berbuah termasuk yang ditanam oleh Bapak HBA.
Disamping itu, integrasi rotan jernang juga telah dilakukan oleh suku-suku pedalaman yang mendiami kawasan hutan, seperti Suku Talang Mamak yang tinggal di Buffer Zone Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) di Dusun Semerantihan Kabupaten Tebo. Sementara di Provinsi Riau, integrasi rotan jernang di kebun karet juga telah dilakukan oleh suku Melayu Tua dan Suku Talang Mamak yang mendiami zona Pemanfaatan Tradisional di dalam kawasan TNBT.
Kedepannya diharapkan semoga integrasi rotan jernang ini dapat dilakukan menyeluruh di semua kebun-kebun karet yang ada, baik di Provinsi Jambi maupun di seluruh provinsi di Sumatra, sehingga nantinya resin merah ini dapat dijadikan sebagai salah satu produk unggulan di Provinsi Jambi khususnya dan Sumatra pada umumnya.
Dari 115 jenis yang termasuk ke dalam genus Daemonorops, tidak semua jenis yang menghasilkan resin merah. Hanya 12 jenis dari genus Daemonorops yang menghasilkan resin merah, sehingga secara internasional jenis-jenis ini dikenal dengan nama “Dragon’s Blood Palm” atau Palem Darah Naga, dan secara tradisional dikenal dengan rotan jernang. Distribusi/penyebaran dari rotan jernang, hanya terbatas di bagian barat Asia Tenggara, dimana hanya ditemukan di Negara Malaysia, Thailand dan Indonesia bagian barat, yaitu di pulau Sumatra dan Kalimantan. Karena distribusinya yang terbatas hanya di wilayah tersebut maka rotan jernang endemik untuk wilayah barat Asia Tenggara.
Berdasarkan hasil penelitian penulis di Central of Sumatera (Sumatra Bagian Tengah), penulis menemukan 5 jenis rotan jernang. Salah satu jenis rotan jernang yang menghasilkan resin terbanyak dibandingkan jenis lainnya adalah Daemonorops draco (Willd.) Blume. Namun jenis ini sudah masuk daftar merah (Red List) IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) tahun 2006 sebagai tumbuhan yang terancam punah dan menurut
Balai Informasi Kehutanan Provinsi Jambi (2009), jernang ini sudah dikategorikan langka.
Keberadaan rotan jernang di hutan alam saat ini sudah menurun drastis. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya habitat rotan jernang karena perubahan fungsi hutan menjadi lahan-lahan perkebunan dalam skala besar, legal/illegal logging, kebakaran hutan dan kurangnya budidaya terhadap jenis-jenis ini. Disamping itu kebiasaan masyarakat pencari jernang yang selalu memanen getah jernang dari buah yang setengah tua dengan alasan getahnya lebih banyak, hal ini menyebabkan ketersediaan buah tua yang akan dijadikan bibit sangat terbatas.
Oleh karena itu perlu segera dilakukan konservasi dan budidaya rotan jernang, tidak hanya untuk jenis D. draco, tetapi juga untuk semua jenis rotan jernang, karena nilai manfaat rotan jernang yang cukup tinggi.
Integrasi rotan jernang di kebun-kebun karet masyarakat, merupakan tindakan yang tepat dalam upaya melakukan konservasi dan budidaya rotan jernang. Pemanfaatan lahan disela-sela pohon karet untuk integrasi rotan jernang, dapat lebih meningkatkan perekonomian masyarakat petani karet, karena selain memanen getah karet, petani karet juga dapat memanen getah rotan jernang ketika tumbuhan ini mulai berbuah. Kegiatan integrasi rotan jernang di kebun karet tidak akan merusak pertumbuhan pohon karet tersebut, karena rotan jernang memiliki batang yang lebih kecil, yang berbeda dengan rotan manau (Calamus manan Miq.) yang dapat merobohkan batang karet.
Pemanenan getah karet yang sangat bergantung pada musim, merupakan salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani karet. Jika musim hujan telah datang, getah karet tidak dapat dipanen dan petani karetpun akan menganggur, sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, kadang-kadang harus berhutang ke toke karet. Kehidupan “gali lobang tutup lobang” inilah yang selalu dijalani oleh petani karet kita, keadaan yang cukup memprihatinkan. Oleh sebab itu, sudah saatnyalah petani-petani karet ini diperhatikan.
Dari hasil survey penulis, bahwa sudah ada beberapa petani karet yang memulai dan sudah melakukan integrasi rotan jernang dikebun karet yang mereka miliki. Pada umumnya mereka yang telah melakukan integrasi rotan jernang adalah para pencari getah jernang, yang melakukan pencarian ketika musim berbuah rotan jernang telah tiba. Di Provinsi Jambi, penulis menemukan beberapa kawasan kebun karet yang telah dilakukan integrasi rotan jernang diantaranya adalah di Karang Mendapo, Mandiangin, Sepintun dan Lamban Sigatal di Kabupaten Sarolangun. Khusus untuk Desa Lamban Sigatal telah dibentuk kelompok tani yang diinisiasi oleh LSM Gita Buana dan didukung oleh Pemda Sarolangun yang pada masa itu dipimpin oleh Bapak Hasan Basri Agus. Jernang di daerah tersebut saat ini sudah berbuah termasuk yang ditanam oleh Bapak HBA.
Disamping itu, integrasi rotan jernang juga telah dilakukan oleh suku-suku pedalaman yang mendiami kawasan hutan, seperti Suku Talang Mamak yang tinggal di Buffer Zone Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) di Dusun Semerantihan Kabupaten Tebo. Sementara di Provinsi Riau, integrasi rotan jernang di kebun karet juga telah dilakukan oleh suku Melayu Tua dan Suku Talang Mamak yang mendiami zona Pemanfaatan Tradisional di dalam kawasan TNBT.
Kedepannya diharapkan semoga integrasi rotan jernang ini dapat dilakukan menyeluruh di semua kebun-kebun karet yang ada, baik di Provinsi Jambi maupun di seluruh provinsi di Sumatra, sehingga nantinya resin merah ini dapat dijadikan sebagai salah satu produk unggulan di Provinsi Jambi khususnya dan Sumatra pada umumnya.